Minggu, 24 November 2019

Ulasan Eksegetis Bacaan Kitab Suci Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam

Berkuasa atas Semesta Alam?

Pada hari raya Kristus Raja Semesta Alam tahun B ini dibacakan Yoh 18:33b-37. Petikan ini memperdengarkan pembicaraan antara Pilatus dan Yesus. Pilatus menanyai Yesus apakah betul ia itu raja orang Yahudi ketika memeriksa kebenaran tuduhan orang terhadap Yesus. Yesus menjelaskan bahwa kerajaannya bukan dari dunia sini. Ia datang ke dunia untuk bersaksi akan kebenaran.

Injil mengajak kita mengenali Yesus yang sebenarnya, bukan seperti yang dituduhkan orang-orang, bukan pula seperti anggapan Pilatus yang sebenarnya tidak begitu peduli siapa Yesus itu. Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam ini juga merayakan kebesaran manusia di hadapan alam semesta. Itulah kebenaran yang dipersaksikan Yesus dan yang dipertanyakan Pilatus.

Raja Dalam Perjanjian Lama

Dalam alam pikiran Perjanjian Lama, raja berperan sebagai wakil Tuhan di dunia. Di Kerajaan Selatan, yakni Yudea, peran ini dipegang turuntemurun. Kepercayaan ini terpantul dalam silsilah Yesus dalam Injil Matius yang melacak leluhur Yesus, anak Daud, anak Abraham (Mat 1:1-17). Lukas menggarisbawahinya dan melanjutkannya sampai Adam, anak Allah, yakni “gambar dan rupa” sang Pencipta sendiri di dunia ini (Luk 3:23-38). Tetapi dalam menjalankan peran ini, raja sering diingatkan para nabi agar tetap menyadari bahwa Tuhan sendirilah yang menjadi penguasa umat.

Kehancuran politik yang berakibat dalam pembuangan di Babilonia (586-538 s.M.) mengubah sama sekali keadaan ini. Raja ditawan dan dipenjarakan, kota Yerusalem dan Bait Allah dijarah, negeri terlantar dan morat-marit hampir selama setengah abad. Pengaturan kembali baru mulai setelah pembuangan, pada zaman Persia. Bait Allah mulai dibangun kembali (baru selesai 515 s.M.), walau kemegahannya tidak seperti sebelumnya. Tidak ada lagi raja seperti dulu walau ada penguasa setempat yang berperan dengan cukup memiliki otonomi di dalam urusan keagamaan. Pada zaman Yesus, keadaan ini tidak banyak berubah. Memang ada harapan dari sementara kalangan orang-orang Yahudi bahwa kejayaan dulu akan terwujud kembali. Maka itu, ada harapan akan Mesias Raja. Harapan ini mendasari pelbagai gerakan untuk memerdekakan diri. Hal ini sering malah memperburuk keadaan. Penguasa asing menumpas gerakan itu dan memperkecil ruang gerak orang Yahudi sendiri. Maka itu, di kalangan pemimpin Yahudi ada kekhawatiran apakah Yesus ini sedang membuat gerakan yang akan mengakibatkan makin kerasnya pengaturan Romawi. Mereka mendahului menuduh Yesus di hadapan penguasa.

Patutkah Dia?

Menurut Yohanes, memang orang pernah bermaksud mengangkat dia sebagai raja (Yoh 6:15, sehabis memberi makan 5.000 orang). Akan tetapi, tak sedikit dari mereka itu nanti juga meneriakkan agar ia disalibkan. Bukannya mereka tak berpendirian. Mereka itu seperti kebanyakan orang ingin hidup tenteram. Mereka mendapatkan roti dan ingin terus, tetapi mereka juga berusaha menghindari kemungkinan mengetatnya pengawasan dari penguasa Romawi. Di dalam kisah sengsara memang tercermin anggapan yang beredar di kalangan umum bahwa Yesus itu bermaksud menjadi raja orang Yahudi: olok-olok para serdadu (Mat 27:29; Mrk 15:9.18; Luk 23:37; Yoh 19:3), papan di kayu salib menyebut Yesus raja orang Yahudi (Mat 27:37; Mrk 15:26; Luk 23:38; Yoh 19:19-21), olok-olok para pemimpin Yahudi di muka salib (Mat 27:42; Mrk 15:32), kata-kata Pilatus di depan orang Yahudi (Yoh 19:14-15).

Kisah kelahiran Yesus menurut Matius juga menceritaan kedatangan para orang bijak dari Timur mencari raja orang Yahudi yang baru lahir (Mat 2:2). Namun demikian, seluruh kisah itu justru menggambarkan kesederhanaannya. Gambaran yang sejalan muncul dalam kisah Yesus dielu-elukan di Yerusalem (Mat 21:1-11; Mrk 11:1-10; Luk 19:28-38; dan Yoh 12:12-13). Ia disambut sebagai tokoh yang amat diharap-harapkan dan diterima sebagai raja, terutama dalam Yohanes. Jelas juga bahwa tokoh ini ialah raja yang bisa merasakan kebutuhan orang banyak.

Menurut Markus, Matius, dan Lukas, di hadapan Pilatus Yesus tidak menyangkal tuduhan orang Yahudi bahwa ia menampilkan diri sebagai raja, tetapi tidak juga mengiakan (Mat 27:11; Mrk 15:2; Luk 23:2-3). Dalam Yoh 18:33-39, ia justru menegaskan bahwa ia bukan raja dalam ukuran-ukuran duniawi.

Injil mewartakan Yesus sebagai Mesias dari Tuhan. Dalam arti itu, ia memiliki martabat raja. Namun demikian, wujud martabat itu bukan kecermelangan duniawi, melainkan kelemahlembutan, kemampuan ikut merasakan penderitaan orang, dan mengajarkan kepada orang banyak siapa Tuhan itu sesungguhnya.

Raja Semesta Alam

Guna mendalami Injil Yohanes mengenai Yesus, sang raja yang bukan dari dunia ini meski dalam dunia ini, marilah kita tengok madah penciptaan Kej 1:1-2:4a. Injil Yohanes, khususnya dalam bagian pembukaannya (Yoh 1:1-18), mengandaikan pembaca tahu bahwa ada rujukan ke madah penciptaan itu.

Ciptaan terjadi dalam enam hari pertama (Kej 1:1-31) dan manusia sendiri baru diciptakan pada hari keenam. Dalam enam hari itu, Tuhan mencipta dengan bersabda. SabdaNya menjadi kenyataan. Diciptakan berturutturut: waktu siang dan malam (Kej 1:3-5), langit (ay. 6-8), bumi beserta tetumbuhan (ay. 9-12), matahari, bulan, dan bintang-bintang (ay. 14-19), ikan di laut dan burung di udara (ay. 20-23), hewan-hewan di bumi (ay. 24-25), dan akhirnya manusia.

Sesudah menciptakan hewan-hewan pada hari keenam itu, Tuhan bersabda, “Marilah kita menciptakan manusia menurut gambar dan rupa kita!” (Kej 1:26). Ungkapan “kita” memuat ajakan kepada seluruh alam ciptaan yang telah diciptakanNya itu untuk ikut serta dalam penciptaan manusia. Seluruh alam semesta yang telah diciptakan kini “menantikan” puncaknya, yakni manusia. Dalam diri manusia terdapat peta kehadiran Tuhan Pencipta yang dapat dikenali oleh alam semesta. Oleh karena itu, manusia juga diserahi kuasa menjalankan pengaturan bumi dan isinya (Kej 1:29).

Manusia diciptakan “laki-laki dan perempuan” (Kej 1:27). Dalam cara bicara Ibrani, ungkapan dengan dua bagian ini merujuk kepada keseluruhan manusia, jadi seperti kata “kemanusiaan” atau “human kind” dalam bahasa Inggris. Bandingkan dengan ungkapan “benar-salahnya”, maksudnya “kebenarannya”; “jauh-dekatnya” maksudnya “jaraknya”.

Pada hari ketujuh (Kej 2:1-4a) sang Pencipta beristirahat dan memberkati hari itu. Pekerjaan yang telah diawaliNya itu kini dilanjutkan oleh manusia karena manusia memetakan kehadiranNya. Hari ketujuh tak berakhir, inilah zaman alam semesta yang diberkati Tuhan Pencipta.

Gambaran di atas menjadi gambaran ideal manusia sebagai raja yang mewakili Tuhan di hadapan alam semesta. Kebesaran manusia sang “gambar dan rupa” Tuhan dan alam semesta itu diterapkan Yohanes kepada Yesus. Dalam hubungan ini Yohanes merujuk Yesus sebagai “Sabda”, yakni kata-kata “Terjadilah…!” dst. yang diucapkan Tuhan dalam menciptakan alam semesta berikut isinya, termasuk manusia sendiri.

Dengan latar di atas, makin jelas apa yang dimaksud Yesus ketika berkata kepada Pilatus (Yoh 18:36) bahwa kerajaannya bukan dari dunia ini, bukan dari sini. Yesus itu memang raja dalam arti puncak ciptaan sendiri, kemanusiaan yang sejati seperti dulu dikehendaki sang Pencipta. Dalam ay. 37 Yesus menambahkan bahwa untuk itulah ia lahir, untuk itulah ia datang. Seluruh kehidupannya mempersaksikan kebenaran, yaitu manusia yang dikehendaki Pencipta sebagai puncak ciptaan yang membadankan unsur-unsur ilahi dan ciptaan dalam dirinya.

Dengan demikian, dalam perayaan Kristus Raja Semesta Alam, dirayakan juga kebesaran manusia, yakni manusia seperti dikehendaki Pencipta. Itulah kebesaran martabat manusia sejati. Sesudah perayaan ini, orang Kristen menyongsong Masa Adven untuk menantikan pesta kedatangan Yesus, Raja yang bakal lahir dalam kemanusiaan yang sederhana tapi yang juga mendapat perkenan Yang Maha Kuasa.

Kembali ke dialog antara Pilatus dan Yesus. Dalam Yoh 18:37 disebutkan Yesus datang ke dunia, ke tempat yang dalam alam pikiran Injil Yohanes dipenuhi kekuatan-kekuatan yang melawan Allah Pencipta, untuk mempersaksikan “kebenaran”. Apa kebenaran itu? Pertanyaan ini juga diucapkan oleh Pilatus. Ini juga pertanyaan kita yang dalam banyak hal memeriksa Yesus. Menurut Injil Yohanes, “kebenaran” yang dipersaksikan Yesus itu ialah kehadiran ilahi di kawasan yang dipenuhi kekuatan gelap. Ia menerangi kawasan yang gelap. Inilah yang dibawakan Yesus kepada umat manusia. Inilah yang membuatnya pantas jadi Raja Semesta Alam. Orang yang mengikutinya akan menemukan jalan kembali ke martabat manusia yang asali, yakni sebagai “gambar dan rupa” Allah sendiri. Orang yang mendekat kepadanya dapat berpegang pada kebenaran ini. Masyarakat manusia kini, di negeri kita, butuh cahaya itu juga. Dan kitakita yang percaya kepada terang itu diajak untuk ikut membawakannya kepada semua orang. Inilah makna perayaan Kristus Raja Semesta Alam yang kita rajakan bersama Injil Yohanes tahun ini.

Salam hangat,

Sumber: http://www.mirifica.net/

baca selanjutnya...

Sabtu, 23 November 2019

Memahami Madah Kemuliaan

“Kemuliaan adalah madah yang sangat dihormati dari zaman kristen kuno. Lewat madah ini Gereja yang berkumpul atas dorongan Roh Kudus memuji Allah Bapa dan Anakdomba Allah, serta memohon belaskasihan-Nya. Teks madah ini tidak boleh di ganti dengan teks lain. Kemuliaan di buka oleh imam atau , lebih cocok, oleh solis atau oleh kor, kemudian dilanjutkan oleh seluruh umat bersama-sama, atau oleh umat dan paduan suara bersahut-sahutan, atau hanya oleh kor. Kalau tidak dilagukan, madah Kemuliaan dilafalkan oleh seluruh umat bersama-sama atau oleh dua kelompok umat secara bersahut-sahutan.

Kemuliaan dilagukan atau diucapkan pada hari-hari raya dan pesta, pada perayaan-perayaan meriah, dan pada hari Minggu di luar Masa Adven dan Prapaskah.”

Kutipan di atas diambil dari Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) artikel 53. Dari kutipan di atas kita bisa tangkap beberapa hal:
  1. Madah Kemuliaan bukanlah sembarang madah yang baru digubah pada zaman modern ini, melainkan sudah mengakar kuat sejak zaman kristen kuno. Seberapa kuno? Menurut Catholic Encyclopedia paling tidak sejak abad ketiga, atau kurang lebih 1700-an tahun yang lalu. Ini berarti, madah Kemuliaan ini menemani perjalanan iman Gereja selama lebih dari 1700 tahun.
  2. Madah Kemuliaan mengandung unsur pujian kepada Allah Bapa dan Allah Putera. Dan pujian ini dipercaya merupakan dorongan Roh Kudus. Bila dihubungkan dengan nomor 1, selama labih dari 1700 tahun, Gereja, berkat dorongan Roh Kudus memuji Bapa dan Putra dengan madah ini. Selain unsur pujian, madah Kemuliaan juga mengandung unsur mohon belas kasihan Allah lewat seruan “kasihanilah kami dan kabulkanlah doa kami”. 
  3. Mengingat tradisi panjang madah ini, yang dipercaya merupakan dorongan Roh Kudus, Gereja menetapkan bahwa teks madah ini tidak boleh diganti dengan teks lain. Atas dasar ini pula, Komisi Liturgi KWI maupun keuskupan dalam kesempatan-kesempatan seminar menyatakan bahwa Kemuliaan Misa Senja, Misa Dolo-Dolo, dan Misa Syukur (yang teksnya berbeda dengan teks asli) tidak boleh lagi dipakai sebagai madah Kemuliaan pada perayaan Ekaristi.
  4. Baris pertama madah ini: “Kemuliaan kepada Allah di surga” dinyanyikan oleh Imam, namun dikatakan lebih cocok bila dinyanyikan oleh solis atau koor. Suatu waktu mungkin Anda dengar baris pertama ini dinyanyikan bukan oleh Imam, justru itu yang lebih cocok. 
  5. Madah kemuliaan dapat dinyanyikan oleh seluruh umat bersama-sama, atau selang-seling antara koor dengan umat, atau oleh koor sendiri saja. Ada yang bilang, “Tidak boleh koor menyanyikan Kemuliaan sendiri saja karena membuat umat sepert penonton.” Menurut pedoman resmi Gereja, tidak benar. Koor diizinkan untuk menyanyikan sendiri madah Kemuliaan. Partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi bukan hanya partisipasi lahiriah (ikut menyanyi) tapi yang lebih penting adalah partisipasi batiniah (menghayati apa yang dinyanyikan/didoakan). 
  6. Jika tidak memungkinkan untuk dinyanyikan, madah Kemuliaan dapat dilafalkan/diucapkan oleh seluruh umat,atau dua kelompok umat secara bergantian. 
  7. Madah Kemuliaan dinyanyikan/diucapkan pada perayaan Pesta dan Hari Raya, perayaan-perayaan meriah, dan hari Minggu di luar masa Adven dan Prapaskah. Perayaan meriah, misalnya: Perkawinan, pemberkatan Gereja, aula paroki, dll. 
Pada perayaan tertentu, nyanyian madah Kemuliaan diiringi dengan bel dan lonceng gereja untuk menambah suasana kemeriahan. Misalnya pada Misa Kamis Putih malam, dinyanyikan madah Kemuliaan secara meriah dengan iringan bel dan lonceng gereja. Namun setelahnya, bel dan lonceng gereja tidak dibunyikan lagi sampai madah Kemuliaan dinyanyikan lagi pada Misa Malam Paskah. Ini menarik mengingat bagian ‘tersuram’ sepanjang tahun liturgi ditandai dengan 2 madah Kemuliaan.

Kekayaan liturgi yang demikian ini sayangnya terkadang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ada imam atau awam yang masih merasa bisa mengubah teks madah ini seenaknya, padahal seorang imam apalagi awam tidak boleh mengurangi, mengubah atau menambah sesuatu dalam liturgi (lihat Konstitusi Liturgi, Konsili Vatikan II). Bahkan setelah disodori pedoman liturgi yang benar, masih tetap ngeyel dan secara sadar melanggar pedoman yang ada (memberi contoh ketidaktaatan). Misalnya pada Misa Natal yang mengganti Kemuliaan dengan lagu Para Malaikat Bernyanyi (PS 456), atau seperti yang termuat di foto dibawah ini, madah Kemuliaan Misa Kamis Putih yang diganti dengan lagu lain dari Madah Bakti. Patut disayangkan, pelanggaran seperti ini menjauhkan kita dari tradisi panjang Gereja selama lebih dari 1700 tahun.

https://saintraphaelpublishing.wordpress.com/

baca selanjutnya...

Jumat, 22 November 2019

Memahami Ritus Damai

Dalam Ritus Damai (Ritus Pacis) Imam selebran mengingatkan umat beriman bahwa Yesus berjanji untuk memberikan rasul-rasul-Nya damai dan meninggalkan mereka dengan damai-Nya. Sebab itu seluruh umat diundang untuk membagikan damai dengan orang-orang sekelilingnya. Sebelum kita menerima Yesus dalam Komuni Kudus, kita berdoa untuk damai dalam dunia dan memberikan tanda cinta kita kepada satu sama lain. Yesus mengajarkan kita bahwa pada saat mempersembahkan persembahan di atas altar dan kita ingat akan sesuatu yang ada dalam hati saudara terhadap kita, kita harus meninggalkan persembahan kita dan pergi berdamai dahulu dengannya (bdk. Mat 5:23) Pada saat kita menyiapkan diri untuk menerima Yesus di dalam Komuni Kudus, adalah sangat penting bahwa kita berada dalam kerukunan – dalam kesatuan – dengan satu sama lain (PUMR 82).

Doa Damai adalah doa yang hanya diucapkan oleh imam selebran saja karena bersifat kristologis. Ia mengatup tangan berdoa: “Tuhan Yesus Kristus, Engkau telah bersabda kepada para Rasul, damai Kutinggalkan bagimu, damai-Ku Kuberikan kepadamu. Tuhan Yesus Kristus jangan memperhitungkan dosa kami, tetapi perhatikanlah iman Gereja-Mu, dan restuilah kami supaya hidup bersatu dengan rukun sesuai dengan kehendak-Mu. Sebab Engkaulah pengantara kami kini dan sepanjang masa. Kemudian, seluruh umat mengakhirinya dengan menyerukan, Amin.”

Ritus damai dilaksanakan setelah doa Bapa Kami sebagai persiapan untuk menyambut Komuni. Maksud penempatan ritus damai setelah doa Bapa kami: “Gereja memohon damai dan kesatuan bagi Gereja sendiri dan bagi seluruh umat manusia, sedangkan umat beriman menyatakan persekutuan dan cinta kasih satu sama lain sebelum dipersatukan dengan Tubuh Kristus. Maka, Salam Damai yang dilakukan bukan pertama-tama untuk saling memaafkan, akan tetapi lebih untuk mengungkapkan persekutuan dan kesatuan hidup bersama dalam damai.

Doa Damai sebenarnya doa yang hanya diucapkan oleh imam saja, dan umat menjawab dengan kata “Amin”. Kebiasaan umat yang ikut mengucapkan Doa Damai tidak sesuai dengan makna liturgis doa ini.

Salam Damai di antara umat beriman bukanlah untuk saling memaafkan, tetapi pertama-tama untuk menyatakan persekutuan dan cinta kasih umat satu sama lain sebelum dipersatukan dengan Tubuh Kristus.

Ada 3 bagian ritus damai: (1) Undangan imam kepada umat untuk berdoa, sekaligus doa imam untuk mohon damai. Damai yang dimohon bukan sekedar damai karena tidak adanya perang atau konflik. Damai menurut arti kata Ibrani-Aram: shalom menunjuk pengertian yang mencakup seluruh dimensi penyelamatan Mesias, termasuk lahir dan batin, jiwa dan badan. (2) Sapaan imam kepada umat: “Damai Tuhan bersamamu”, berarti Damai Tuhan menyertai umat. Saat imam mengucapkan “Damai Tuhan bersamamu”, imam semestinya merentangkan tangan lebar-lebar, seolah-olah hendak memeluk semua umat. (3) Imam dan umat beriman saling memberikan salam damai dengan bersalaman atau membungkuk; atau di tempat tertentu saling berpelukan atau mencium. Tapi sebaiknya diserahkan kepada kebiasaan masing-masing daerah sesuai ketentuan Konferensi Uskup.

Sumber : Martasudjita,E.Pr., Ekaristi: Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Yogyakarta: Kanisius 2005.
Fr. Antonius Pramono, www.reginacaeli.org

baca selanjutnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP