Sabtu, 21 Februari 2015

Rabu Abu Dalam Masa Puasa Umat Katolik

Print Friendly and PDF

“you are dust, and to dust you shall return” – Genesis

Puasa merupakan sebuah ajang olah rohani yang hidup dalam tradisi kebudayaan masyarakat dunia. Berbagai agama memiliki tradisinya sendiri juga mulai dari Yahudi hingga Hindu yang menekankan pada askestisme serta kemampuan menahan nafsu duniawi. Puasa menjadi sebuah proses latihan rohani yang menantang sekaligus mengajarkan manusia untuk menimba kesadaran yang lebih atau magis.

Dalam tradisi Gereja Katolik, Puasa berlangsung selama 40 hari dan dimaknai sebagai sebuah momen penting untuk pertobatan. Tradisi ini merujuk pada teladan yang dibagikan oleh tokoh-tokoh dari bagian perjanjian lama Kitab Suci yang diteladani oleh umat Kristen. Musa misalnya, melakukan puasa selama 40 hari sebelum ia menerima Sepuluh Perintah Allah yang termashyur itu. Demikian pun Nabi Elia bahkan Yesus sendiri pun menjalani puasa selama 40 Hari 40 Malam di Padang Gurun.

Berdasarkan tradisi baik berpuasa serta perhitungan angka 40 hari yang menyiratkan lamanya masa permenungan dan tobat, maka Gereja Katolik menyusun sendiri rangkaiannya secara liturgis. Secara keseluruhan umat Katolik berpuasa selama 6 pekan. Mengingat hari Minggu dipandang sebagai hari peringatan Kebangkitan maka hari ini tidak dianggap termasuk dalam masa Puasa. Dengan demikian bila dihitung mundur dari Hari Minggu Perayaan Paskah dengan mengurangi jumlah hari Minggu yang ada, maka akan ditemukan permulaan puasa di Hari Rabu.

Lalu, mengapa disebut Rabu Abu?

Mengingat bahwa tradisi berpuasa dalam kekatolikan menyangkut semangat dan laku tobat, maka awal puasa pun berefleksi dari kisah pertobatan Niniwe. Kisah tentang bagaimana Yunus dengan segala kegundahan sekaligus ketaatannya untuk membawa pesan pertobatan ke kota yang diberikan padanya untuk didatangi. Atas usaha Yunus di abad ke 5, kota Niniwe pun memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung sebagai sebuah ungkapan penyesalan akan dosa-dosa mereka pada Allah. Bahkan raja pun turut menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu untuk menunjukkan sesalnya.

Penggunaan abu sebagai salah satu simbol dalam liturgi Katolik memang banyak didasari pada makna abu dalam perjanjian lama. Abu menjadi lambang bagi mereka yang berkabung, lambang kefanaan dan juga tobat. Dalam kitab Ester misalnya, pada masa 485-464 SM, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros untuk melakukan pembunuhan atas semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia. Demikian pun Ayub yang kisahnya ditulis sekitar abad 7 hingga 5 SM. Ia menyatakan ungkapan sesal pada Allah dengan duduk diatas debu.

Rabu Abu menjadi lebih dikenal secara khas setelah ritual tersebut dikembangkan secara liturgis. Menurut catatan yang ditemukan pada edisi awal Gregorian Sacramentary dan terbit di sekitar abad ke 8, pernah seorang Imam Anglo-Saxon berkotbah. Dalam kotbahnya di sekitar 1000, imam yang bernama Aelfric tersebut berujar:

“Kita membaca dalam kitab-kitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bahwa mereka yang menyesali dosa-dosanya menaburi diri dengan abu serta membalut tubuh mereka dengan kain kabung. Sekarang, marilah kita melakukannya sedikit pada awal Masa Prapaskah kita, kita menaburkan abu di kepala kita sebagai tanda bahwa kita wajib menyesali dosa-dosa kita terutama selama Masa Prapaskah”

Dengan demikian diketahui bahwa Gereja Katolik mulai menggunakan abu sebagai simbol tobat sebagaimana praktik yang lazim dipakai pada kitab suci. Sehingga sejak abad pertengahan , abu pun mulai menandai masuknya Prapaskah bagi umat Katolik untuk menyadari kefanaan dan perlunya pertobatan. Umat katolik menaburkan abu di kepalanya sebagai simbol serta sikap tobat mereka.

Pada praktiknya di masa sekarang, abu yang digunakan dalam ritual Rabu Abu berasal dari hasil pembakaran daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya. Imam kemudian akan memberkati abu tersebut untuk kemudian ditandai pada dahi umat beriman. Tanda berupa salib di dahi akan dikenakan seraya imam berkata,

“Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu,”
atau
“Bertobatlah dan percayalah kepada Injil.”

Maka bagi non Katolik, jangan heran bila sekali dalam setahun pada saat Hari Rabu Abu, anda melihat teman anda yang Katolik di dahinya terdapat tanda yang berasal dari abu.

Berbagai latar yang telah dikemukakan ini, juga melandaskan ingatan akan hakikat manusia di awal mula penciptaan. Selain kemuliaan yang dianugerahkan oleh Allah melalui jiwa dan roh, manusia diingatkan pada asal muasal raganya dari debu. Hal ini inilah yang membentuk sebutan Rabu Abu atau Ash Wednesday, karena pada hari pertama permulaan puasa itu umat Katolik diajak menyadari bahwa dirinya berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu pada akhirnya nanti.

Tanda abu di dahi bagi umat Katolik bukan sebagai tanda ketaatan ibadah, bukan pula sebagai simbol kesucian si pemilik dahi, atau bukan pula aksesori yang menjadi penghias diri, apalagi dijadikan sebagai obyek selfie. Tanda abu di kening umat Katolik pada Rabu Abu sejatinya mengingatkan bahwa si pemilik dahi adalah seorang pendosa, seorang yang sadar akan kedosaannya, seorang yang melalui dosa belajar untuk memperbaiki hidupnya. Melalui pertobatan.

Dalam konteks kebangsaan, mari kita sertakan dalam doa tobat kita, para pemimpin dan elit politik negeri. Semoga mereka juga diberi kebijaksanaan dan ingatan akan abu sejarah kelam bangsa ini. Agar melalui abu sejarah korupsi dan pertarungan kekuasaan di masa lalu, kita menyadari pentingnya menjaga pondasi masa depan bangsa. Sebelum semua itu pun kembali menjadi debu.

Selamat memasuki Rabu Abu dengan semangat pertobatan kalbu.

Sumber:
http://www.sembirink.com/

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP